Manusia harus terus berjalan menyusuri kehidupan untuk melengkapi bagian puzzle kehidupannya. Setidaknya itulah yang kami lakukan ketika lulus SMA. Yak, kami berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik sesuai dengan kodrat sebagai manusia.Kami hanya ingin membagikan kebahagiaan dan kebanggaan pada setiap orang yang menyayangi kami.
Berbekal dengan Surat Keterangan Lulus SMA, gue dan temen-temen memutuskan untuk mengadu nasib di Jakarta atau lebih tepatnya mencoba untuk masuk kedalam sebuah bagian birokrasi pemerintahan di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Gue, Baskoro, Jendro, Andre, Adi, dan Dasril adalah para perantau tersebut. Kami memutuskan berangkat dari Bandar Lampung jam 11 malam dengan tujuan Tangerang terlebih dahulu karena disana tinggal kakak Dasril yang menjadi dosen di sebuah Akademi Kebidanan. Rencananya memang kami akan menginap disana terlebih dahulu karena kebetulan ada 1 kamar yang kosong di asrama para calon bidan tersebut. Yah kakaknya Dasril memang tinggal di asrama kebidanan yang dihuni oleh para wanita calon bidan.
Perjalanan dari Bandar Lampung menuju Pelabuhan Bakauheni sukses kami lewati. Begitu juga perjalanan ke Pelabuhan Merak, Banten. Nah, selanjutnya nasib kami ditentukan oleh secarik kertas penunjuk rute angkutan yang dipegang oleh Dasril. Begitu turun dari kapal, ratusan calo bis mendatangi kami sehingga kami sendiri kesulitan mencari bis menuju Kalideres sesuai rute kami.
"Bandung, bang?", tawar seorang calo yang langsung gue jawab dengan gelengan kepala. Dengan pengalaman kami yang minim berpetualang ke Jakarta tentu saja kami sangat bingung dengan kondisi seperti itu, yang kami tahu pada saat itu, tolak semua calo dan cari sendiri bisnya.
"Kampung rambutan, mas?", tanya seorang calo kepada Baskoro.
"Enggak mas, Kalideres.", jawab Baskoro, tiba-tiba calo tersebut berteriak kepada temen-temennya, "Woy, ini ke Kalideres."
Serombongan calo langsung datang ke arah kami, Gue dan temen-temen mati-matian bertahan dari serbuan tersebut seolah-olah boy band yang sedang diserbu penggemar dengan satu tujuan, cari bis sendiri. Tapi malang sekali, Dasril terpegang oleh seorang calo dan diseret ke suatu bis. Sekuat tenaga Dasril melawan tapi datang lagi seorang calo memegang tangannya yang satu lagi sehingga saat itu posisi Dasril tidak lagi diseret melainkan di angkat dengan calo-calo memegang kedua tangannya bak pria hidung belang yang tertangkap razia dan menolak untuk ditangkap sehingga harus di angkat. Pasrahlah dia dimasukkan kedalam suatu bis ekonomi yang sangat jelek sekali. Kami yang mati-matian mempertahankan kehormatan langsung menyerah kalah kepada para calo begitu melihat pemimpin jalan kami sudah tidak berdaya lagi. Ternyata para calo ini mengerti mengenai teknik perang Sun Tzu, untuk mengalahkan sebuah pasukan, sekuat apa pun pasukan itu, cukup taklukkan saja pemimpinnya maka pasukannya pasti dapat dengan mudah dikalahkan. Kami berlima pun beringsut memasuki bis jelek tersebut dan kebetulan hanya gue, Adi dan Dasril sendiri yang dapat duduk itupun diposisi paling belakang, yang lain termasuk Baskoro yang membocorkan strategi perang kami pun hanya bisa berdiri. Sialnya pintu belakang bis itu tidak bisa ditutup dan angin dinihari bertiup dari pintu tersebut membuat gue dan temen-temen merasa sangat kedinginan.
Berbekal dengan Surat Keterangan Lulus SMA, gue dan temen-temen memutuskan untuk mengadu nasib di Jakarta atau lebih tepatnya mencoba untuk masuk kedalam sebuah bagian birokrasi pemerintahan di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Gue, Baskoro, Jendro, Andre, Adi, dan Dasril adalah para perantau tersebut. Kami memutuskan berangkat dari Bandar Lampung jam 11 malam dengan tujuan Tangerang terlebih dahulu karena disana tinggal kakak Dasril yang menjadi dosen di sebuah Akademi Kebidanan. Rencananya memang kami akan menginap disana terlebih dahulu karena kebetulan ada 1 kamar yang kosong di asrama para calon bidan tersebut. Yah kakaknya Dasril memang tinggal di asrama kebidanan yang dihuni oleh para wanita calon bidan.
Perjalanan dari Bandar Lampung menuju Pelabuhan Bakauheni sukses kami lewati. Begitu juga perjalanan ke Pelabuhan Merak, Banten. Nah, selanjutnya nasib kami ditentukan oleh secarik kertas penunjuk rute angkutan yang dipegang oleh Dasril. Begitu turun dari kapal, ratusan calo bis mendatangi kami sehingga kami sendiri kesulitan mencari bis menuju Kalideres sesuai rute kami.
"Bandung, bang?", tawar seorang calo yang langsung gue jawab dengan gelengan kepala. Dengan pengalaman kami yang minim berpetualang ke Jakarta tentu saja kami sangat bingung dengan kondisi seperti itu, yang kami tahu pada saat itu, tolak semua calo dan cari sendiri bisnya.
"Kampung rambutan, mas?", tanya seorang calo kepada Baskoro.
"Enggak mas, Kalideres.", jawab Baskoro, tiba-tiba calo tersebut berteriak kepada temen-temennya, "Woy, ini ke Kalideres."
Serombongan calo langsung datang ke arah kami, Gue dan temen-temen mati-matian bertahan dari serbuan tersebut seolah-olah boy band yang sedang diserbu penggemar dengan satu tujuan, cari bis sendiri. Tapi malang sekali, Dasril terpegang oleh seorang calo dan diseret ke suatu bis. Sekuat tenaga Dasril melawan tapi datang lagi seorang calo memegang tangannya yang satu lagi sehingga saat itu posisi Dasril tidak lagi diseret melainkan di angkat dengan calo-calo memegang kedua tangannya bak pria hidung belang yang tertangkap razia dan menolak untuk ditangkap sehingga harus di angkat. Pasrahlah dia dimasukkan kedalam suatu bis ekonomi yang sangat jelek sekali. Kami yang mati-matian mempertahankan kehormatan langsung menyerah kalah kepada para calo begitu melihat pemimpin jalan kami sudah tidak berdaya lagi. Ternyata para calo ini mengerti mengenai teknik perang Sun Tzu, untuk mengalahkan sebuah pasukan, sekuat apa pun pasukan itu, cukup taklukkan saja pemimpinnya maka pasukannya pasti dapat dengan mudah dikalahkan. Kami berlima pun beringsut memasuki bis jelek tersebut dan kebetulan hanya gue, Adi dan Dasril sendiri yang dapat duduk itupun diposisi paling belakang, yang lain termasuk Baskoro yang membocorkan strategi perang kami pun hanya bisa berdiri. Sialnya pintu belakang bis itu tidak bisa ditutup dan angin dinihari bertiup dari pintu tersebut membuat gue dan temen-temen merasa sangat kedinginan.
Sepanjang jalan gue tidak bisa tidur dan tiba-tiba seorang kakek menanyakan suatu lokasi tujuan kepada bapak lainnya. Gue pun dengan tidak sengaja ikut mendengar percakapan tersebut.
"Pak, bis ini menuju lokasi xxx tidak?", tanyanya.
"Wah tidak lewat pak, bapak salah naik bis.", jawab bapak yang satu lagi.
"Tadi saya ditarik-tarik calo untuk naik bis ini, kata mereka bis ini menuju lokasi xxx."
"Iya pak, makanya jangan dengan calo lain kali."
Gue yang mendengar percakapan itu merasa kasihan dengan kakek itu apalagi setelah melihat kakek tersebut membuka dompetnya dan hanya tersisa sekitar limaribuan rupiah. Tak lama, Kondektur bis itu atau lebih mirip preman pasar tersebut mengomel di dekat kami. "Sial, ada yang memberi uang robek neh.", katanya kepada temennya.
"Kalau tidak mau buat saya saja pak.", kata kakek yang tadi. Kondektur itu diam sesaat, gue pikir pasti dikasih lah ke kakek ini, cuma seribuan juga. Benar dugaan gue, uang tersebut dikasih kepada kakek tersebut tapi setelah uang tersebut di robek menjadi dua bagian oleh dia, padahal sebelumnya robekan tersebut sangat kecil. Tapi kakek itu menerima uang itu dengan senang hati dan memasukkan ke dompetnya seolah-olah kakek tersebut sudah terbiasa diperlakukan seperti itu dan hanya bisa bersyukur.
Satu hal yang sampai sekarang yang masih gue sesali, gue tidak membantu kakek itu. Alasan gue karena ongkos gue juga tidak begitu banyak dan gue tidak tahu bagaimana kerasnya kehidupan ibukota nanti, tetapi sebenarnya bila ada niat pasti ada jalan, itu yang gue sesali. Maaf ya kek. Anak muda ini, insyaallah tidak akan berpikiran sempit seperti itu lagi dalam menolong orang. Gue juga melihat temen-temen gue yang berdiri, gue tahu mereka pasti pada kecapekan, apalagi melihat andre yang sampai tertidur sambil berdiri. Maaf kawan tidak bisa tukar tempat karena dikiri dan dikanan gue pada bersandar semua dibahu gue dan terlelap. Gue juga tidak tega bangunin mereka.
Memorial hari minggu dinihari pada tahun 2005.
"Pak, bis ini menuju lokasi xxx tidak?", tanyanya.
"Wah tidak lewat pak, bapak salah naik bis.", jawab bapak yang satu lagi.
"Tadi saya ditarik-tarik calo untuk naik bis ini, kata mereka bis ini menuju lokasi xxx."
"Iya pak, makanya jangan dengan calo lain kali."
Gue yang mendengar percakapan itu merasa kasihan dengan kakek itu apalagi setelah melihat kakek tersebut membuka dompetnya dan hanya tersisa sekitar limaribuan rupiah. Tak lama, Kondektur bis itu atau lebih mirip preman pasar tersebut mengomel di dekat kami. "Sial, ada yang memberi uang robek neh.", katanya kepada temennya.
"Kalau tidak mau buat saya saja pak.", kata kakek yang tadi. Kondektur itu diam sesaat, gue pikir pasti dikasih lah ke kakek ini, cuma seribuan juga. Benar dugaan gue, uang tersebut dikasih kepada kakek tersebut tapi setelah uang tersebut di robek menjadi dua bagian oleh dia, padahal sebelumnya robekan tersebut sangat kecil. Tapi kakek itu menerima uang itu dengan senang hati dan memasukkan ke dompetnya seolah-olah kakek tersebut sudah terbiasa diperlakukan seperti itu dan hanya bisa bersyukur.
Satu hal yang sampai sekarang yang masih gue sesali, gue tidak membantu kakek itu. Alasan gue karena ongkos gue juga tidak begitu banyak dan gue tidak tahu bagaimana kerasnya kehidupan ibukota nanti, tetapi sebenarnya bila ada niat pasti ada jalan, itu yang gue sesali. Maaf ya kek. Anak muda ini, insyaallah tidak akan berpikiran sempit seperti itu lagi dalam menolong orang. Gue juga melihat temen-temen gue yang berdiri, gue tahu mereka pasti pada kecapekan, apalagi melihat andre yang sampai tertidur sambil berdiri. Maaf kawan tidak bisa tukar tempat karena dikiri dan dikanan gue pada bersandar semua dibahu gue dan terlelap. Gue juga tidak tega bangunin mereka.
Memorial hari minggu dinihari pada tahun 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar