....Brmmmm....Brmmmmm....
Dua pengendara motor mengambil posisi sejajar, menggeber gas dengan sangat keras, dan dalam hitungan detik mereka pun beradu kecepatan dalam lintasan lurus. Inilah yang kita namakan drag race. Salah seorang dari kami merupakan penunggang kendaraan itu. Dialah Oka Ibnu Dinata, sang pembalap alias pemuda berbadan gelap. Gue dan temen-temen memang sering nonton balap dan ketika ingin ikut serta maka kami mengutus oka untuk mempertaruhkan nyawanya. Mengapa Oka??? Karena bobotnya sangat ringan dibanding dengan gue dan temen-temen yang lain, sebenarnya yang paling ringan tentu saja adalah manusia hobbit kami, Guntur, hanya saja mentalnya belum cukup matang. Dia sering beralasan, "Gue belum kawin, Wan.".Itulah alasan yang sering dia gunakan dan memang masuk akal. Lain dengan pemuda berbadan gelap alias oka ini, mentalnya cukup teruji. Qibul lah yang sering dibawa turun ke lintasan oleh Oka dengan modif sederhana ala anak SMA alias asal-asalan. Inilah petualangan kami dalam dunia balap liar yang berlangsung di salah satu stadion pada malam minggu.
Pemuda ini juga sangat menyenangi musik dan bakat bermusiknya cukup besar. Dengan tampang seperti Dewa Bujana dan didukung kemampuan bermain gitar yang mumpuni maka tidak heran pemuda ini mempunyai cukup banyak fans di golongan waria, wanita dan pria maksudnya. Walaupun begitu, pria kalem ini sangat tidak percaya diri menghadapi para wanita.
Salah satu penyebabnya mungkin kejadian ini.
Pada waktu kelas XI, gue iseng-iseng duduk sebangku dengan Oka di pojok, oh my god, kenapa gue ini selalu dapat di pojok bersama pria lagi? Memang sudah nasib. Dan ketika gue dan Oka lagi asyik mengobrol alias gosip, ada seorang wanita hilir mudik di sebelah kami. Merasa terganggu Oka pun langsung menegur wanita tersebut, "Eh, bisa duduk dengan tenang tidak seh??". Wanita itu langsung memandang sengit kearah Oka dan gue dan tiba-tiba dia berkata, "Gue tampar-tampar loe nanti.". Gue dan oka sangat terkejut karena biasanya wanita ini cukup kalem di kelas. Alhasil kami pun langsung menciut di bentak-bentak seperti itu. Mungkin inilah awal ketakutan Oka sama makhluk yang namanya wanita. Tampak kalem namun kadang bisa sangat berbahaya.
Karena ketidakpercayaan dirinya dalam menghadapi wanita maka kami menjulukinya Dewa Bujangan.
Dua pengendara motor mengambil posisi sejajar, menggeber gas dengan sangat keras, dan dalam hitungan detik mereka pun beradu kecepatan dalam lintasan lurus. Inilah yang kita namakan drag race. Salah seorang dari kami merupakan penunggang kendaraan itu. Dialah Oka Ibnu Dinata, sang pembalap alias pemuda berbadan gelap. Gue dan temen-temen memang sering nonton balap dan ketika ingin ikut serta maka kami mengutus oka untuk mempertaruhkan nyawanya. Mengapa Oka??? Karena bobotnya sangat ringan dibanding dengan gue dan temen-temen yang lain, sebenarnya yang paling ringan tentu saja adalah manusia hobbit kami, Guntur, hanya saja mentalnya belum cukup matang. Dia sering beralasan, "Gue belum kawin, Wan.".Itulah alasan yang sering dia gunakan dan memang masuk akal. Lain dengan pemuda berbadan gelap alias oka ini, mentalnya cukup teruji. Qibul lah yang sering dibawa turun ke lintasan oleh Oka dengan modif sederhana ala anak SMA alias asal-asalan. Inilah petualangan kami dalam dunia balap liar yang berlangsung di salah satu stadion pada malam minggu.
Pemuda ini juga sangat menyenangi musik dan bakat bermusiknya cukup besar. Dengan tampang seperti Dewa Bujana dan didukung kemampuan bermain gitar yang mumpuni maka tidak heran pemuda ini mempunyai cukup banyak fans di golongan waria, wanita dan pria maksudnya. Walaupun begitu, pria kalem ini sangat tidak percaya diri menghadapi para wanita.
Salah satu penyebabnya mungkin kejadian ini.
Pada waktu kelas XI, gue iseng-iseng duduk sebangku dengan Oka di pojok, oh my god, kenapa gue ini selalu dapat di pojok bersama pria lagi? Memang sudah nasib. Dan ketika gue dan Oka lagi asyik mengobrol alias gosip, ada seorang wanita hilir mudik di sebelah kami. Merasa terganggu Oka pun langsung menegur wanita tersebut, "Eh, bisa duduk dengan tenang tidak seh??". Wanita itu langsung memandang sengit kearah Oka dan gue dan tiba-tiba dia berkata, "Gue tampar-tampar loe nanti.". Gue dan oka sangat terkejut karena biasanya wanita ini cukup kalem di kelas. Alhasil kami pun langsung menciut di bentak-bentak seperti itu. Mungkin inilah awal ketakutan Oka sama makhluk yang namanya wanita. Tampak kalem namun kadang bisa sangat berbahaya.
Karena ketidakpercayaan dirinya dalam menghadapi wanita maka kami menjulukinya Dewa Bujangan.
Dengan dia lah gue meminta bantuan untuk menyanyikan lagu Jauh dari Jamrud ketika ujian praktek kesenian kelas XII. Gue yang nyanyi dan dia mengiringi dengan gitar. Suara fals bin sumbang berkolaborasi dengan alunan melodi gitar yang indah menghasilkan sesuatu yang harmonis dengan karakter rock. Memang tidak salah waktu itu gue memilih pendamping gitaris jalanan terkenal, Dewa Bujangan.
Oka juga merupakan sosok yang alim diantara kami. Bila kami akan melakukan perbuatan yang keterlaluan maka dia akan mengingatkan kami untuk tidak melakukan perbuatan tersebut dan kalau dia sudah tidak mampu mengingatkan kami maka dia akan turut serta dalam perbuatan-perbuatan jahat kami. Keberuntungan mungkin terletak pada muka polos bin innocent Oka, sehingga seandainya gue dan temen-temen lain tertangkap dalam melakukan suatu perbuatan jahat, otomatis oka akan dianggap tidak bersalah dengan muka polosnya atau paling tidak terpaksa melakukan perbuatan jahat karena diancam oleh temen-temennya. Padahal siapa menduga terkadang makhluk polos ini menikmati kejahatan-kejahatan yang kami lakukan. Kepolosannya kadang sekaligus merupakan kekonyolan sang gitaris jalanan ini dan gue dan temen-temen lainlah yang meracuni pemuda polos dari desa ini dengan semua kejahatan duniawi contohnya : b*k*p, main PS, bolos, usil dan lain-lain. Tapi dalam hati sebenarnya gue yakin bahwa Oka ini sebenarnya pura-pura polos saja karena dalam melakukan kejahatan-kejahatan dia nyatanya lebih ahli.
Temen sekaligus alarm bagi gue untuk selalu mengingatkan risiko suatu perbuatan, Oka Ibnu Dinata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar