metafora kehidupan

metafora kehidupan
cara pandang kita menentukan pikiran kita

Senin, 09 Agustus 2010

Kemah #2

Lanjutan cerita Perjusami, maklum terkendala waktu untuk mengingat dan menulis. Hehehe..

Hari #3 (Minggu)


Selesai jalan malam, kami dibariskan dengan mata tertutup untuk mengikuti acara renungan suci yang pada hakikatnya hanya mengingatkan kita sebagai manusia, konsekuensi dan kompensasi dari apa yang telah dan akan kita lakukan. Tangis demi tangis mengiringi acara tersebut dan dinginnya udara subuh di Bumi Perkemahan. Selesai tangis-tangisan tersebut samar-samar gue dengar suara Beben di sebelah gue. Tanpa pikir panjang, Gue langsung aja menyapa, "Ben, ini loe ya Ben?". Karena mata masih pada ditutup jadi gue terpaksa meraba-raba. Ketika kepegang gue elus-elus aja pahanya kemenelan. "Bukan gue cewek.", kata sosok disebelah gue itu. "Yaelah Ben, mau bohongin gue tah?", kata gue sambil senyum-senyum mesum dengan tangan semakin kencang meraba-raba paha. "Bener, Gue cewek.", kata dia.
Akhirnya setelah disuruh buka penutup mata oleh senior, gue kaget bukan kepalang ternyata disebelah gue beneran cewek. Aini namanya (bukan nama sebenarnya). Kontan aja gue malu dan lari masuk tenda diiringi tertawaan para senior yang rupanya dari tadi menonton adegan gue meraba-raba dari lutut hingga pangkal paha. Didalam tenda gue cepet-cepet ganti baju biar tidak dikenali. Ninja mode on. Ternyata si Aini gak mau kalah juga, ketika gue hampir buka celana dia masuk tenda gue. Tentu aja gue kaget dan urung buka celana. Yang lebih kaget ternyata si Aini galak banget. Gue dimarah-marahin, dikata-katain cabul, tapi beneran lho suara dia seperti laki dan ternyata si Beben juga gak jauh-jauh dari si Aini. Gue sungguh menyesal. Tahu gitu, gue nikmatin ngerabanya. Lho? Hehehe..

Hari minggu ini gue pun mendadak terkenal gara-gara kasus pencabulan tidak sengaja tapi apa boleh buat itu. Dan pagi itu pun ditutup dengan mandi bareng di kali. Kembali gue mengenakan celana andalan, yaitu celana basah yang kemarin gue taruh di pinggir tenda. Ketika berenang, tiba-tiba ada warna pelangi gitu muncul di air pertanda minyak bercampur air. Kita kebingungan darimana tuh minyak. "Kayaknya dari badan loe itu Wan,", kata Fadhli, teman romantis mandi bareng. Gue perhatiin lagi, emang benar seh kayaknya dari badan gue gitu. Tapi masa iya badan gue bisa menghasilkan minyak, bisa kaya mendadak gue. Hehehe. Tiba-tiba gue sadar, ketika kemaluan gue, kita sebut aja si Boy, kepanasan. Padahal pagi-pagi tentu air kali dingin rasanya. Anjriit, celana basah gue bau dengan minyak tanah. Rupanya mungkin ada yang menyangka celana yang gue taruh di pinggir tenda itu sebagai lap. Ckckck. Apes gue, mana subuh sudah berbuat asusila eh pagi-pagi si Boy kepanasan. Sampai siang tuh si Boy menderita. Ckckck..
Akhir kemah ditutup dengan hiking dan doa bareng. Setidaknya gue mendapat berbagai pengalaman berharga dalam acara ini termasuk megang paha cewek walau secara gak sadar dan akhirnya gue juga jadi dapat rumus baru, minyak tanah + si Boy = Bad Effect. Selain itu gue juga dapat anugerah beberapa kolor yang secara tidak sengaja dan entah bagaimana bisa berada dalam tas gue. Ayo kawan, mari nikmati alam dengan berkemah...

Kemah #1

Terlintas kembali ingatan hampir 11 tahun yang lalu, dimasa-masa peralihan dari bocah SD nan lugu menjadi murid SMP pra binal. Awal masuk sekolah, gue terpikir untuk ikut organisasi. Berhubung gue suka berpetualang dan teman-teman sekelas banyak yang ikut, jadilah gue masuk ke sebuah wadah pemuda kreatif sejati yaitu Pramuka.

Maka untuk menyambut anggota-anggota baru diadakanlah sebuah acara spektakuler (menurut gue dan anak-anak pra binal yang masih bengong-bengong gak jelas kebanyakan di kelonin emak di rumah) yaitu Perjusami, Perkemahan Jumat Sabtu Minggu.

Hari #1 (Jumat)

Masih kebawa suasana rumah, alat-alat dibawa lengkap :
1. Baju dan daleman beberapa puluh stel + beberapa diantaranya baru beli, serasa mau liburan aja (not recommended);
2. Kacamata hitam punya Umi;
3. Kamera analog (belum jaman man camdig);
4. Peralatan liburan lainnya.
Gue gak tahu kalo disana itu bakal repot banget ngurusin barang-barang. Tapi Alhamdulillah ketika pulang, gue dapat kolor beberapa stel entah punya siapa.Hehehehe
Tenda di bagi per regu dan gue tergabung dalam regu yang diisi oleh orang-orang nan imbisil, regu ini namanya REGU KOMODO. Regu ini dipimpin oleh seorang laki-laki brewokan culun (buset dah SMP aja ini anak udah brewokan), Bima Haria Putra. Suasana hari itu masih santai dan dibawa ngobrol-ngobrol aja.

Hari #2 (Sabtu)

Gue dan Andreas dapat giliran piket pagi untuk jagain tenda. Sambil masak nasi buat sarapan, gue beres-beres tenda yang sudah kaya' kapal pecah. Andreas ke kali (sungai) entah ngapain. Kita berdua gak ada yang sadar kalau nasi itu sudah gosong gak karuan. Alhasil sarapan pagi waktu itu kerak nasi + mie yang minta-minta dari tenda sebelah karena gue sama Andreas juga gak masak mie. Sore hari dilewati dengan bermain air di kali. Anak-anak saling cipratan air dengan romantisnya sambil sesekali menghindar kalau ada tokai (baca:tai) lewat. Yah beginilah dapat jatah berenang di bagian hilir. Sedang yang di hulu dengan semena-mena tanpa merasa berdosa membuang ranjau air tersebut. Selesai berenang, gue tumpuk aja baju basah dipinggir tenda, besok khan bisa dipakai lagi pikir gue. Jam 8an malam, semua orang berpesta di depan api unggun dengan menampilkan keahlian regu masing-masing. Tak mau ketinggalan regu imbisil pimpinan Bima pun menyumbangkan sebuah lagu walaupun sebenarnya gak terlalu pantas disebut sebagai lagu karena kita sendiri gak tahu apa yang kita nyanyiin. Tapi Alhamdulillah dapat tepuk tangan lumayan meriah tanda kasihan dari para penonton.

Tengah malam kami semua dibangunkan secara paksa oleh senior-senior. Kami dipaksa berpakaian Pramuka lengkap tanpa diberi penerangan yang cukup. Alhasil, ada yang kaus kaki dipakai sebagai dasi, atribut gak lengkap karena dicari gak ketemu, ada yang pakai sepatu kiri semua malah ada yang lupa pakai sepatu karena gugupnya. Gue sendiri untungnya bisa lengkap sehingga gak dibentak-bentak. Dinihari itu kami disuruh hiking/jalan malam menuju pos-pos yang telah disediakan senior, katanya inilah ujian kami supaya menjadi keluarga besar Pramuka. Malam itu kami saling bahu-membahu menembus gelapnya malam dan lebatnya pepohonan di Bumi Perkemahan tersebut. Tiba-tiba, Beben tergelincir di jalan setapak waktu mendaki tebing. Untungnya gue dan teman-teman yang lain sigap megang tangan dia sehingga dia tidak jadi terjun bebas dari tebing tersebut. Alhamdulillah dia cuma luka-luka aja. Kejadian itu membuat yang lain berpikir dan bertindak hati-hati dalam menentukan langkah. Karena kita tidak tahu apa yang akan menanti kita di depan. Ibaratnya kita berjalan didalam gelap malam tanpa penerangan dan kita hanya bisa melihat samar-samar ataupun menduga-duga apa yang ada di depan. Inilah yang seringkali kita sebut prediksi.

Sabtu, 07 Agustus 2010

Indonesiaku

Hidup dalam kesenangan cenderung membuat hidup kita terlalu menyenangkan dan enak. Tapi inilah yang membuat jiwa kita lemah dan manja. Hidup di tanah air Indonesia dengan berbagai fasilitas hotel bintang lima, seperti tanah yang subur, aneka kekayaan alam, dan iklim tropis yang menyenangkan, membuat kita lupa, membuat kita khilaf, membuat kita tidak ingin memperluas pengetahuan kita tentang bagaimana menjalani hidup dan mengelola kekayaan alam kita ini. Coba kita lihat Jepang, negara yang notabene minim kekayaan alam, sering gempa dan tsunami, dan pernah hancur di bombardir tentara sekutu pada tahun 1945, sekarang bisa menjadi negara raksasa dan sangat disegani di seluruh dunia. Mereka berpikir bagaimana memenuhi kebutuhan mereka dengan kekayaan alamnya yang sedikit, mereka berpikir bagaimana cara menanggulangi bencana yang ada, mereka berpikir untuk bangkit dan maju. Bagaimana dengan kita?? Kepribadian yang kuat terbentuk dari banyaknya masalah yang dihadapi, kerasnya tantangan untuk hidup, dan kemauan kita untuk menghadapi masalah tersebut. Bangkitlah pemuda Indonesia, bukan demi diri kita saja tapi juga demi negara tercinta kita, Indonesia.

Senin, 02 Agustus 2010

samurai 1

Brak...
Pedang itu pun terjatuh menjauh dariku. Kini aku bagaikan samurai tak berpedang. Samurai yang hilang arah. Darahku berhenti mengalir dan hatiku pun membeku. Tidak ada rasa, cipta, dan karya mengalir lagi dari seorang samurai. Sampai kutemukan kembali pedangku, pedang tanda bahwa samurai ini belum mati.